(Yogyakarta – haltebus.com) Di dunia jasa transportasi bus, bus-bus pariwisata terkenal identik dengan bus yang selalu tampil baru, berdandan, tak boleh sedikit pun tergores dan sempurna. Bus-bus yang menarik perhatian penyewa biasanya menjaga penampilannya, dan itu dibutuhkan oleh pengelola bus-bus pariwisata. Namun, pakem itu tidak ada dalam kamus bisnis Jatmiko Suparmadi, generasi ketiga pewaris PO Sargede. “Bus-bus baru itu kalo dilihat faktanya, harga sewanya bus lawas masih bisa bersaing,” ujarnya saat haltebus.com berkunjung ke kantornya di kawasan Kotagede, Yogyakarta, Senin (10/12/12) lalu.
Pemikiran Koko, sapaan akrab Jatmiko, tentu bertentangan dengan arus deras yang melanda jasa transportasi bus saat ini. Dalam kurun lima tahun terakhir, banyak pengusaha bus berlomba-lomba membeli bus baru, tak jarang mengubah penampilan busnya mulai cat hingga interior. Sementara, PO Sargede tetap pada prinsip sederhana, sama seperti saat perusahaan bus itu didirikan pada tahun 1961.
Dengan kepercayaan tinggi pada pengelolaan armadanya, Koko, mulai membangun lagi bisnis yang juga menjadi bagian dari hobinya ini. Tahun 2006, putra ke-empat pasangan Suparmadi dan Sri Hartini itu mengaku syok dengan musibah gempa yang melanda Yogyakarta. Tak hanya rumahnya, sebagian busnya juga ikut rusak. Bahkan, keluarganya sempat mengungsi ke Semarang.
Bangkit dari keterpurukan, Koko mulai menghitung kembali aset dan strategi yang bisa dijalankan untuk mengoperasikan busnya. Pria asli Yogya ini mengaku tertarik dengan bus saat ayahnya memegang kendali PO Sargede yang diwariskan kakeknya. “Sejak sekolah saya sering memperhatikan bapak, saya SMA sudah mulai belajar membawa bus,” kata dia mengenang masa sekolahnya.
Nah bagaimana Koko bisa berpendirian lebih baik membeli bus bekas sebagai untuk menambah investasi modal? Perhitungannya cukup sederhana. “Harga sewa bus pada jarak tertentu meski menggunakan bus lawas masih cukup menjanjikan,” ujar dia dengan nada bersemangat.
Sejurus kemudian, meluncurlah asumsi yang lebih konkrit. Ada strategi khusus agar operasional manajemen bisa terus berjalan, sementara keuntungan juga didapat, tanpa mengorbankan ‘jam terbang’ bus. Koko sangat terbantu dengan biro perjalanan Sargede. Selain menyediakan layanan sewa bus, dengan biro perjalanan pelanggan juga ditawarkan paket wisata.
Sistem ini memudahkan dia memilah keinginan pelanggannya. Saat pelanggan membutuhkan bus yang nyaman untuk perjalanan jauh dengan durasi penyewaan lebih dari dua hari ke luar kota, biro perjalanan akan menawarkan secara terbuka armada bus wisata rekanan PO Sargede. Saat pelanggan membutuhkan armada dengan durasi penggunaan bus satu-dua hari, biasanya di seputar Jawa Tengah, Koko baru menggunakan bus-bus miliknya. Apa sebabnya? “Untuk perjalanan jauh kami tak mau ambil resiko karena armada kami bukan armada baru, tetapi bukan berarti untuk perjalanan di seputar Jawa Tengah kami mengabaikan pelayanan,” kata dia.
Pilihan ini diambil bukan tanpa alasan, selain karena armadanya berumur lebih dari 10 tahun, Koko mengaku lebih tertarik serius mengelola bus-bus untuk melayani sewa jarak pendek. Menurut dia, dihitung secara operasional, bus dengan jarak operasional pendek lebih rendah biaya perawatannya. Contohnya, masa penggantian oli lebih panjang, begitu juga dengan waktu penggantian suku cadang bisa lebih lama. Padahal, kata sarjana lulusan Universitas Islam Indonesia itu, beban biaya operasional tertinggi ada pada perawatan kendaraan.
Tak heran jika Koko mantab dengan apa yang dilakukannya. DIa tak canggung meski mengoperasikan bus-bus lawas. “Boleh dibilang secara kuantitas mungkin lebih rendah pendapatan yang diperoleh, tetapi secara kualitas ada biaya yang bisa dihemat secara signifikan,” kata generasi ketiga pewaris Sargede ini. Tentunya agar armada bisa melayani pelanggan perawatan tidak boleh diabaikannya. Soal perawatan, apa yang dilakukan PO Sargede cukup mengejutkan Direktur Produksi Karoseri Rahayu Santosa, Suyono. Dia mengaku tak mengira bus produksinya di tahun 1990-an masih ada yang merawat. Apalagi dengan asesoris lampu yang masih terjaga keasliannya. “Bus SETRA 0405 dengan lampu Kässbohrer-Setra dibuat terbatas, tidak banyak yang punya,” ujarnya.
Sebagian kalangan menilai memelihara bus lawas lebih cenderung menghabiskan biaya perawatan dibanding dengan bus baru. Namun di mata Koko resiko perawatan masih lebih baik dibanding resiko menginvestasikan bus baru. Dia menjelaskan, dengan pengelolaan yang cermat investasi bus lawas bisa mencapai titik impas di tahun ketiga.
Apa yang dilakukan Koko, adalah satu contoh bagaimana mengelola bus harus memperhitungkan segala kebutuhan operasional dengan cermat. Bagi sebagian orang, termasuk karyawannya sendiri, strategi itu dinilai aneh.
PO Sargede yang sudah berumur 51 tahun, tak bisa membeli bus baru. Padahal dari sisi aset, keluarga pemilik bus memiliki bisnis lain yang tergolong maju yakni hotel dan penginapan. “Orang lain busnya baru-baru, padahal mereka ya tergolong baru punya bus. Herannya mas Koko lebih senang bus-busnya gak jalan, yang jalan malah seringnya bus-bus baru itu. Sekalinya jalan ya yang dekat-dekat saja,” kata karyawan yang tak menyebutkan namanya ini.
Namun, bukan berarti Koko tak berkeinginan untuk memajukan usahanya. Dia mengaku tengah merumuskan formulasi untuk membangkitkan bisnis jasa penyewaan bus miliknya. Kuncinya, menanamkan investasi untuk bus baru tanpa melalui kredit. Bagaimana caranya? “Bagaimana keinginan investor dan konsumen bisa saya pertemukan di satu titik. Ketika itu bisa bertemu, keuntungan pasti akan datang,” ujarnya dengan mantab. (naskah: mai/foto: mai)