(Yogyakarta – haltebus.com) Sejak krisis moneter tahun 1997, tema effesiensi operasional masih menjadi tema utama usaha transportasi bus hingga saat ini. Perusahaan bus yang masih bertahan, sebagian besar mengedepankan biaya operasinonal yang effesien untuk kelangsungan hidup mereka. Di antara pengusaha bus, ada yang menyebut beban operasional mencapai 40 persen dari total perputaran uang mereka.
Berbagai cara ditempuh untuk menekan biaya operasional. Karena itu, saat pabrikan transmisi otomatis Allison melakukan uji coba di Yogyakarta Rabu (7/12/11) lalu, sedikitnya 30 pemilik dan manajemen PO bus ikut hadir. Mereka tertarik dengan tawaran bahwa transmisi otomatis bisa ikut menekan biaya operasional bus. Sebagian dari mereka mengujicoba langsung dengan cara mengemudikan bus.
Sales Manager Dieselindo Utama Nusa Stevan Wangsasinarta, menyebut effesiensi dengan transmisi otomatis cukup kompetitif. Selain mesin yang bisa berumur panjang , karena kinerjanya diatur pada batas dua ribu RPM, fungsi retarder juga membantu penghematan penggunaan kanvas rem dan ban. Belum lagi fungsi kopling yang sudah tidak ada lagi sehingga tak perlu penggantian kanvas kopling. “Yang jelas terlihat untuk ban lebih awet. Bus yang diujicoba, penggantian ban hingga penggunaan 90.200 km, kanvas rem belum ganti sejak pertama dibeli,” kata dia kepada haltebus.com.
Dalam ujicoba ini, dua unit bus Mercedes-Benz tipe OH-1526, milik PO. Safari Dharma Raya dan Universitas Semarang yang sama-sama menggunakan transmisi otomatis. Perbandingan Stevan tentang penggantian ban dan kanvas rem mengacu pada bus milik PO. Safari Dharma Raya yang mulai beroperasi sejak Juni 2010 lalu.
Stevan menjelaskan, effesieni pada bus bertransmisi otomatis bisa dicapai berkat teknologi yang diusung. Untuk penggantian ban dan kanvas rem, bisa diperpanjang karena adanya opsi retarder. Retarder memungkinkan pengereman dengan bantuan mesin secara otomatis melalui perpindahan gigi transmisi dari tinggi ke rendah. Hanya dengan memainkan tuas kecil enam percepatan, bus mengerem tanpa menginjak pedal rem. Semakin jarang menginjak pedal rem, maka panas yang ditimbulkan karena pergesekan di keempat sumbu roda juga berkurang. Panasnya pelek akibat pergesekan membuat umur ban lebih singkat.
Pada transmisi otomatis pengemudi menyesuaikan diri dengan mesin. Menurut Stevan, hal ini dimungkinkan karena ada Transmission Control Modul (TCM). Pada transmisi Allison, TCM pengaturan kinerja mesin melalui transmisi bisa dilakukan. Selain itu, kata dia, alat ini merekam perilaku pengemudi.
Dia menambahkan, transmisi otomatis bisa diaplikasikan pada mesin-mesin bus keluaran terbaru sudah dilengkapi dengan Electronic Control Unit (ECU). Dengan memadukan kerja TCM dan ECU kontrol kinerja mesin bus lebih terjaga. “ Ada dua pilihan pengaturan yang bisa dilakukan TCM, yakni ekonomi dan performa untuk mengatur effesiensi melalui kinerja mesin,” kata Stevan.
Ada fitur, ketika bus pada posisi berhenti di posisi netral (N) bisa secara otomatis berpindah ke posisi berjalan (D) hanya dengan menginjak pedal rem dan gas. Fitur ini memungkinkan beban mesin saat berhenti lebih ringan. Gampangnya, bus tidak selalu dalam posisi masuk gigi transmisi dan ditahan rem tangan saat berhenti. Biasanya, kata Stevan, digunakan di tengah kemacetan atau saat lampu lalulintas menyala merah. Seperti pada mobil, ada pula kontrol manual transmisi dengan hanya memencet tombol. “Untuk beberapa fitur seperti pengaturan transmisi saat macet, lebih mudah,” katanya.
Dengan umur penggantian hingga oli transmisi hingga 240 ribu km, dan kemudahan-kemudahan lainnya, tawaran Stevan cukup menggiurkan. Bagi orang awam, kemudahan-kemudahan di atas sulit untuk dibaca. Namun, Tri Cahyo Edi Wibowo, Manajer PO. Bimo (Yogyakarta) mengaku cukup tertarik. “Kalo ada kesempatan saya mau beli satu unit untuk diujicoba dalam operasional bus kami,” ujarnya.
Menurut Bowo, panggilan akrab Tri Cahyo, penggantian oli transmisi hingga 240 ribu km, sangat effesien, mengingat pada transmisi manual penggantian dilakukan per 40 ribu km. Dia mengatakan, jika dibandingkan dengan harga transmisi manual yang mencapai Rp. 75 juta per unit, harga Rp. 180 juta untuk transmisi otomatis cukup kompetitif. Selisih Rp. 90 juta-an, kata dia, masih bisa ditutup dengan effesiensi pada kanvas rem dan umur ban yang lebih panjang. Maklum, harga sebuah ban paling murah lebih dari Rp. 2 juta dan umur penggantian 90 ribu km bisa mencapai dua tahun untuk bus pariwisata.
Pernyataan Bowo diamini oleh Andreas D. Widjaya, Manajer Operasional PO. Blue Star (Jakarta). Andreas dua kali ikut mencoba bus bertransmisi otomatis. Menurut dia, jika pengemudi bisa menyesuaikan karakter transmisi otomatis, effesiensi yang disebut Stevan bisa tercapai. Andreas yang juga mengoperasikan Mercedes-Benz OH-1632 yang dilengkapi retarder mengakui pengereman dengan retarder cukup membuat penggantian ban dan kanvas rem bisa lebih panjang. “Sayangnya soal perbandingan harga transmisi dan (tingkat) effesiensi masih harus diuji dulu,” kata dia.
Pemilik PO Zentrum (Purwodadi), Candra mengaku masih menimbang-nimbang untuk mengaplikasikan transmisi otomatis pada bus-busnya. Candra tak menutupi bahwa dia sangat tertarik untuk mempelajari keunggulan transmisi otomatis pada bus. Seperti halnya Andreas, pria berkacamata ini masih belum yakin dengan tingkat effesiensi yang ditawarkan. “Sejauh ini menurut saya yang paling merasakan manfaatnya ya pengemudi, sementara untuk pelanggan kami yang menyewa bus apa manfaatnya? Rasanya belum ada. Soal effesiensi operasional saya belum punya pendapat,” ujarnya.
Di Indonesia, selain Allison, masih ada transmisi otomatis dari ZF dan Voith. Produk dua pabrikan ini juga sudah digunakan pada bus-bus kota maupun bus antar kota. Menurut OE & Service Manager ZF Indonesia, Yudi Ardianto Prinsip kerja semua transmisi otomatis sama, hanya saja ada beberapa perbedaan teknis. Misalnya, letak komponen dan opsi-opsi teknologi yang ditawarkan. "Pada ZF contohnya, ada transmisi otomatis dengan opsi lima dan enam percepatan, cocok diaplikasikan untuk mesin berkapasitas 300 HP atau lebih," katanya.
Yudi menyatakan, kebutuhan transmisi otomatis memang tergantung strategi masing-masing perusahaan. Namun, dia optimistis transmisi jenis ini akan menjadi kebutuhan banyak perusahaan bus, manakala infrastruktur di Indonesia sudah berkembang. “Ketika pembangunan jalan tol Jakarta – Surabaya terealisir, transmisi otomatis bisa menjadi suatu kebutuhan,” ujarnya.
Berdasarkan informasi yang didapat haltebus.com, sejumlah Perusahaan Otobus sudah mengaplikasikan transmisi otomatis, meski belum seluruh armadanya. Mereka masih dalam taraf mencoba membuktikan efesiensi yang dijanjikan. Ada PO yang memiliki empat armada dengan produk transmisi otomatis berbeda, ada juga yang mengkombinasikan dengan mesin BBG, ada yang digunakan untuk jalur tol antar kota, maupun jalur antar kota dengan medan beragam.
Teknologi yang canggih dalam transmisi otomatis, memiliki konsekuensi di lapangan. Direktur PO Siliwangi Antar Nusa (Bengkulu), Kurnia Lesani berpendapat, karakter pengemudi dalam mengoperasikan bus sangat berpengaruh pada tingkat keawetan mesin bus. Menurut dia, fitur dan yang ditawarkan bisa tak banyak berarti, akibat faktor pengemudi. Dia mengatakan, untuk bisa beradaptasi dengan karakter transmisi otomatis pengemudi harus paham teknologinya.
Sani yang sempat mengemudikan bus yang diujicobakan mencatat kelemahan lain yang harus dicermati. Saat retarder berfungsi mengurangi kecepatan bus, lampu pengereman tidak bekerja bersamaan. “Seharusnya saat retarder berfungsi, lampu rem juga ikut menyala. Di jalan menurun panjang dan berkelok atau dalam kondisi pengereman mendadak ini bisa berbahaya. Kendaraan di belakang tak tahu, dan langsung menabrak,” kata Sani.(naskah: mai/foto-foto: mai-istimewa)